28/10/2008

Negara hanya ramah pada orang yang berduit

Seandainya istilah bangsa tidak terlalu sentimentil, tentu saya ingin menjadi warga negara dari bangsa yang maju, penuh kedamaian, tidak dikuasai oleh orang-orang culas.
Teman saya bahkan pernah guyon, pindah negara yang adem ayem yuk, katanya. Tentu saja hal itu tidak mungkin nyata karena bahkan untuk makan hari inipun dia harus mikir apalagi ngurus tetek mbengek pindah kewarganegaraan belum lagi ongkos transportasinya yang membuatnya harus nabung selama seumur hidup.
Saya pribadi tidak merasa heran kalau dia nyeletuk seperti itu karena kini, setidaknya masih menurut teman saya, negara ini hanya ramah pada orang yang berduit. Semua serba bayar, semua harus pajak pada negara. Minum, mandi, cuci dan kakus airnya harus bayar. Makan, semua bahan makanan harganya melambung tinggi. Belum lagi transportasi mahal karena dipicu langkanya BBM. Yang paling mengerikan bayi lahir atau orang mati ada ongkosnya juga, atau kalau tidak bisa-bisa disandera Rumah Sakit atau ditolak tanah pemakaman. Bahkan mungkin udara yang kita hirup untuk bernafas ini ntar dihitung juga rupiahnya. Ngeri!
"Kalau ingin yang serba gratis di LP saja, kata teman saya, lagian caranya gak susah kok", imbuhnya lagi, "Soal dosa Tuhan maha adil kok dengan umatNya yang kelaparan". Saya cuma bisa geleng-geleng kepala saja.
"Para penguasa daerah kini juga sudah tidak ramah lagi, apalagi kalau pilkada masih jauh, mereka lebih sering bersembunyi dibalik seragam angker para satpol PP yang tampak makin sangar ketika ada gusuran".
"Belum lagi aparat keamanan yang justru malah lebih sering membuat masyarakat merasa tidak aman".
Saya tambah pusing dengan omongannya, aneh sepertinya tidak ada yang tidak masuk diakal.

No comments:

"Agar menjadi 'orang' kita harus melihat ke atas, untuk tetap menjadi 'manusia' kita harus mau melihat ke bawah"